Suara
lantunan merdu sang Muadzin membangunkanku setelah tidur lelap panjangku.
Petualangan mimpiku berakhir seketika setelah Ia memanggil. Segera saja aku
bangkit dari ranjang dan merapikan kamarku yang terlihat sedikit berantakan.
Setelah semua selesai, aku menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Selanjutnya aku bergegas menuju ke masjid di dekat rumah. Rupanya bapak dan
ibuku telah menunggu di depan pintu. Bahagianya diriku bisa terlahir di
keluarga luar biasa ini.
“Cepat,
nak. Sudah hampir dimulai sholat jama’ahnya. Nanti kita ketinggalan.” Ajak Ibu.
“Iya,
bu, sebentar.” Jawabku sambil sedikit berlari.
Kemudian
kita berangkat bersama-sama menuju ke masjid. Sesampainya disana, rupanya telah
banyak orang-orang yang telah bersiap menunaikan ibadah sholat subuh. Segera
saja ibu dan aku mengambil tempat. Tak lama kemudian sholat pun dimulai.
Setelah
sholat selesai, kami segera pulang ke rumah. Tak seperti anak-anak lain yang
sibuk menyiapkan diri untuk sekolah, aku justru mempersiapkan diri untuk
membantu ayah dan ibu. Ya. Aku memang tidak sekolah. Bukannya aku belum cukup
umur, tapi biaya yang menghalangiku untuk mengenyam bangku pendidikan. Orang
tuaku tak mampu untuk menyekolahkanku. Jadi apa boleh buat. Aku harus menunda
keinginanku untuk bersekolah demi melanjutkan kehidupanku yang masih panjang.
Sebelum
matahari menebar senyum kepada seluruh dunia, kami telah berangkat mencari
peruntungan. Tak ada sarapan untuk hari ini. Kami sudah terbiasa tidak makan
pagi, karena memang tak ada yang bisa dimakan. Sebelum kami berhasil
mengumpulkan barang-barang bekas dan di jual ke pengepul, kami belum bisa
makan. Makanya kami harus bersusah payah dulu kalau mau mendapat sesuap nasi
dan melanjutkan hidup hari ini.
Kali
ini kami harus berpencar untuk mencari rongsokan. Bapak menyusuri jalanan dekat
kota. Ibu berkeliling kompleks dekat perumahan. Sedangkan aku sendiri harus
mencari barang bekas di sekitar SD Harapan Makmur. Sebenarnya aku lebih memilih
di dekat jalan raya saja daripada harus kesana. Aku malu dengan anak-anak yang
bersekolah disana. Aku juga ingin seperti mereka.
Setelah
berjalan sekitar lima belas menit, aku pun tiba di tempat tujuan. Sempat rasa
malu itu muncul kembali setelah beberapa siswa mengejekku. Mereka menyebutku
sebagai anak pemulung.
“Heii......
Kamu ngapain kesini. Pergi sana. Bau tahu.” Ejek salah seorang siswa.
“Iya.
Kamu pergi deh jauh-jauh. Kalo melihat kamu aku jadi enek. Pengen muntah.”
Tambah teman siswa tadi.
Aku
hanya diam mendengarkan ejekan mereka. Tiba-tiba saja datang lagi seorang siswa.
Namun tampaknya kali ini ia memiliki pemikiran yang bertentangan dengan kedua
anak yang tadi. Meskipun begitu aku sempat merasa khawatir dan takut terhadapnya.
Ia tampak begitu marah. Mukanya berubah seketika menjadi memerah. Entah ia tak
suka dengan keberadaanku atau ia marah dengan kedua anak itu. Aku belum bisa
menebak dan memastikannya. Hingga akhirnya ia melontarkan beberapa kata.
“Heii...
Pergi! Jangan ganggu dia.” Kata anak itu.
“I...i...i...iya,
kak. Maaf. Kami pergi deh.” Jawab kedua anak tadi sambil gemeteran dan kemudian
lari terbirit-terbirit.
“Kamu
gak apa-apa kan?” tanya anak itu.
Aku
sempat terdiam cukup lama. Aku terpaku dan membisu melihatnya. Ia memang tampan
dan menawan. Aku seperti sedang ada dalam mimpi. Seorang pangeran menyelamatkan
sang putri dari penjahat. Haha... Aku menghayal.
“Hello..
Kamu baik-baik aja kan?” tanyanya lagi sambil mengibas-ngibaskan tangannya di
depan mukaku.
“E....
e... Iya. Aku gak apa-apa kok. Makasih ya udah nolongin aku.” Jawabku setelah
tersadar dari khayalan gila itu.
“O
ya.. Kenalin aku Riko. Nama kamu siapa?” tanya anak itu sambil menjulurkan
tangannya kepadaku.
“Emmmb...
namaku... Si..” jawabku malu-malu.
Teng...Teng...Teng...
Tiba-tiba bel sekolah berbunyi dan memotong pembicaraanku. Ia segera berlari
menuju kelasnya dan meninggalkanku disini sendirian.
“Maaf
ya. Aku masuk kelas dulu. Sampai ketemu lagi.” Teriak Riko sambil berlari.
Gara-gara
anak-anak itu aku jadi lupa mau ngapain. Setelah kepergian Riko yang menawan
itu, aku pun segera melanjutkan pekerjaanku. Aku mengorek-orek tempat sampah
yang ada disekitar sekolah itu. Apa pun barang bekas yang masih bisa dijual,
semua ku angkut dengan keranjang yang ku gendong di punggungku.
Tak
terasa semua tempat sampah telah ku kunjungi dan kuambil sebagian dari isinya.
Terasa lelah mulai melandaku. Mungkin karena aku belum sarapan tadi pagi.
Rasanya perutku mulai meronta-ronta menginginkan sesuatu untuk mengisinya.
Akhirnya aku pun mencari tempat yang teduh untuk beristirahat sejenak.
Sambil
istirahat, aku secara tidak langsung memperhatikan anak-anak yang sedang di
ajar oleh gurunya di kelas mereka masing-masing. Sepertinya mereka begitu
bersemangat dalam menerima pelajaran. Mereka selalu memperhatikan dengan
seksama apa yang sedang di sampaikan oleh gurunya.
Tiba-tiba
saja air mataku menetes membasahi pipiku. Kapan ya aku bisa sekolah seperti
mereka? Apa aku bisa dengan keadaanku seperti ini? Begitulah kiranya apa yang
ada dalam benak dan fikiranku selama ini. Ketika aku sedang meratapi nasibku,
tiba-tiba aku dikagetkan dengan juluran tangan beserta tisu yang berada dalam
genggamannya. Sontak aku pun menoleh ke belakang sambil secara spontan kedua
tanganku mengusap air mata yang membasahi pipiku.
“Eh..Kamu
Riko. Kok kamu bisa ada disini?” tanyaku.
“Iya,
tadi kan aku mau pulang. Trus aku ngelihat kamu sendirian disini. Jadi aku
kesini deh. Kamu kenapa nangis?” kata Riko.
“Ohhh...
Aku gak apa-apa kok. Cuma iri aja melihat mereka bisa sekolah. Sementara aku
kan gak bisa sekolah. Jadi aku terbawa suasana.” Jelasku.
“Emmb...
Ngomong-ngomong nama kamu siapa? Tadi kan belum sempat terjawab.” Tanya Riko.
“Namaku
Siti, kak.” Jawabku.
“Riko?
Ayo pulang! Udah mau hujan nih.” Panggil seseorang dari dalam mobil.
“Iya,
sebentar, pa.” Jawab Riko.
“Eeee...
Aku pulang dulu ya. Papaku udah manggil. Sampai jumpa.” Pamit Riko.
“Iya.
Sampai jumpa.” Jawabku.
Karena
langit sudah mulai gelap, aku pun segera pulang menuju ke rumah dengan
sisa-sisa tenagaku. Beberapa saat kemudian aku tiba di rumah. Rupanya bapak dan
ibu telah ada di rumah sedang menungguku untuk makan bersama.
“Kamu
kemana saja, nak? Ibu tunggu dari tadi kok gak pulang-pulang.” Tanya ibu.
“Maaf,
bu. Tadi aku masih istirahat. Jadi agak telat pulangnya.” Jawabku.
“Ya
sudah. Ayo makan dulu. Hari ini ada tempe sama kerupuk kesukaan kamu.” Ajak
ibu.
“Iya,
bu.” Jawabku.
Alhamdulillah.
Menu makanan hari ini sangat istimewa bagi kami. Jarang-jarang kami bisa makan
dengan lauk tempe sama kerupuk. Biasanya Cuma nasi ama garam atau kecap saja.
Mungkin hari ini pendapatan kita sedang mencukupi. Tidak seperti biasanya.
Ditengah-tengah
kita makan, tiba-tiba terdengar suara orang yang mengetuk pintu gubug sederhana
kami. Tak pernah kami kedatangan tamu sebelumnya. Biasanya yang datang adalah
orang yang mau nagi hutang. Kemudian ibu menyuruhku untuk membuka pintu.
Setelah aku membuka pintu, ternyata yang datang adalah Riko bersama orang yang
memanggilnya dari mobil pulang sekolah kemarin yang ternyata ia adalah ayahnya
Riko.
“Mari-mari,
silahkan masuk!” kataku.
“Mari,
pak. Silahkan duduk. Kalau boleh tahu, ada keperluan apa ya sehingga bapak
berkunjung ke tempat kami?” tanya bapak.
“Iya,
terima kasih. Sebelumnya perkenalkan nama saya Burhan dan ini anak saya si
Riko. Tujuan pertama kita datang kemari adalah ingin bersilaturahmi dengan
keluarga ini. Lalu yang kedua, setelah mendengar cerita anak saya tadi, hati
saya terketuk untuk membantu keluarga ini. Kami berniat untuk menyekolahkan
anak bapak dan ibu. Jadi bagaimana, pak? bu?” jelas Pak Burhan.
“Maaf,
pak. bapak serius?” tanya bapak penasaran.
“Iya.
Saya serius, pak. InsyaAllah saya akan menyekolahkan anak ibu hingga sampai
perguruan tinggi nanti.” Jawab Pak Burhan.
“Ya
Allah. Alhamdulillahi robbil ‘alamin. Terima kasih, pak. kami tidak tahu
caranya bagaimana kami membalas kebaikan bapak. Hanya do’a kata terima kasih
yang bisa kami berikan kepada bapak. Sekali lagi terima kasih, pak. Semoga
Allah membalas segala amal kebaikan bapak. Amiin.” Kata bapak sambil berjabat
tangan dengan Pak Burhan.
“Iya,
pak. Amiin. Kami senang bisa membantu bapak. Mulai besok, anak bapak sudah bisa
masuk sekolah. Ini seragam dan perlengkapan sekolah untuk anak bapak.” Jawab
Pak Burhan.
“Terima
kasih banyak, pak. Terima kasih.” Kata bapak.
“Iya,
pak. Berhubung hari sudah mulai sore, kami mohon undur diri, pak. Semoga kita
bisa berjumpa di lain waktu.” Pamit Pak Burhan.
“Iya,
pak. Terima kasih atas kujungan dan bantuannya. Maaf kami tidak bisa menjamu
bapak seperti layaknya seorang tamu.” Jawab bapak.
Pak
Burhan akhirnya pulang dan meninggalkan tempat kami. Ia telah memberikan sejuta
kebahagiaan untuk kami. Ia telah mewujudkan mimpiku selama ini. Terima kasih
Pak Burhan.
“Akhirnya
mimpimu bisa terwujud, nak. Kamu besok sekolah.” Kata ibu sambil mengelus
rambutku dan terlihat air mata jatuh dari pancaran mata indahnya.
“Iya,
bu. Alhamdulillah. Akhirnya aku bisa sekolah.” Jawabku sambil tersenyum
bahagia.
Cahaya
kebahagiaan tampak terpancar di raut muka keluarga kecilku nan sederhana ini.
Dengan segala perjuangan dan do’a yang tak henti, akhirnya impianku bisa
terwujud. Sungguh bahagianya diriku. Besok aku sudah bisa sekolah. Seakan aku
tak percaya dengan semua ini. Semua tampak fana seperti halnya aku sedang
bermimpi, namun ini adalah sebuah kenyataan. Aku senang sekali.
Keesokan
harinya, untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di kelas untuk mendapatkan
berbagai ilmu yang akan disampaikan oleh guruku nanti. Aku bertemu dengan teman-teman
baru yang begitu baik menyambutku. Aku takkan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Karena tak semudah yang kita kira untuk mewujudkan sebuah mimpi. Butuh
perjuangan dan kesabaran dalam menggapainya. Terus semangat dan tak mudah
menyerah adalah kuncinya. Jangan pernah takut untuk mengejar dan meraih mimpimu
meskipun badai besar menerpa dan menghempaskan dirimu. Kamu harus bisa melewati
semua rintangan itu hingga akhirnya kamu mendapatkan buah dari perjuangan dan
kerja kerasmu.
No comments:
Post a Comment