Cari

Wednesday 7 September 2016

PETANI PENANAM DOKTER

               Di sebuah desa terpencil nan jauh dari hiruk pikuk ramainya perkotaan, bermukim sebuah keluarga kecil sederhana nan bahagia, meskipun hidupnya jauh dari kata layak. Keluarga mungil ini dibangun oleh sepasang suami istri bernama Pak Gatot dan Bu Marni. Mereka dikaruniai seorang anak yang begitu mereka sayangi yaitu Marga namanya.

            Pak Gatot hanyalah seorang petani yang penghasilannya pas-pasan. Sedangkan Bu Marni hanya sebagai ibu rumah tangga saja. Dengan penghasilan yang begitu minim dan dengan kebutuhan yang semakin banyak, tentunya Pak Gatot sebagai kepala keluarga harus bisa memutar otak untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan tersebut, mengingat anaknya sebentar lagi sudah harus mengenyam bangku sekolah.

            Seperti anak-anak desa yang lain, Marga begitu senang bermain di alam bersama dengan teman-temannya. Masa kecilnya dihabiskan dengan keceriaan tak terhingga meskipun keadaan ekonomi keluarga yang pas-pasan. Ia begitu bersahaja, sehari-hari ia pergi ke sungai, kebun, ke bukit, dan tempat-tempat lainnya untuk bermain bersama teman-temannya.

            Pada usia enam tahun, Marga mulai mengenyam bangku pendidikan yaitu Sekolah Dasar yang ada di desanya. Jaraknya lumayan jauh dari kediamannya. Ia harus menyeberangi sungai untuk sampai ke tempatnya menuntut ilmu. Awalnya ia selalu diantar oleh ayahnya, namun setelah ia agak besar, ia berani pergi sendiri bersama teman-temannya. Hanya sesekali jika sungai itu sedang menguap, ia meminta ayahnya untuk mengantarkannya ke seberang sungai.

            Anak-anak di desa ini memang sangat bersahabat dengan alam, seakan-akan alam telah menjadi bagian dalam kehidupan mereka. Di usia yang masih dini, Marga dan kawan-kawannya telah membantu orang tuanya untuk berkebun. Meskipun sebenarnya orang tuanya melarangnya untuk pergi ke kebun, tetapi Marga selalu memaksa. Jadi tak ada pilihan lain. Sepulang sekolah ia terlebih dahulu mengerjakan pekerjaan rumahnya baru kemudian setelah semuanya selesai, ia menyusul orang tuanya di kebun dekat rumahnya.

            Tak terasa hari demi hari telah berlalu, kini Marga hampir menuntaskan sekolah dasarnya. Ia hanya tinggal menunggu hasil ujian yang telah dilewatinya. Ya, hari ini adalah pengumuman kelulusan. Semenjak kelas satu ia selalu menduduki ranking tertinggi dikelasnya. Ia memang terkenal cerdas dan banyak prestasinya. Seperti yang telah di duga, ia kembali mendapatkan nilai tertinggi pada ujian kelulusan ini. Ia meninggalkan sekolah ini dengan prestasi dan pengalaman yang tak mungkin terlupakan olehnya.

            Karena kepandaiannya ia diterima di Sekolah Menengah Pertama tanpa tes seperti teman-teman lainnya yang harus melewati beberapa tahapan. Ia memang pernah mengikuti dan memenangkan lomba di sekolah ini semasa ia di sekolah dasar dulu. Jadi sekolah ini sudah percaya dengan kualitas anak ini.

            Tak jauh berbeda dari sebelumnya, ia masih belum terkalahkan dalam segi prestasi. Walaupun persaingannya lebih ketat daripada sewaktu ia masih di sekolah dasar. Sebagian besar siswa disini memang masih terbilang dari keluarga-keluarga yang biasa, hanya beberapa yang datang dari keluarga agak kaya. Jadi ia masih terbiasa dengan keadaan disekitarnya.

            Tiga tahun berlalu, hingga ia berhasil lulus dari sekolahnya kini dengan hasil yang sangat memuaskan hingga ia banyak sekali sekolah yang ingin mendapatkan anak satu ini untuk menjadi siswanya. Begitu luar biasa memang, seorang yang terlahir di desa bisa begitu terkenal hingga sampai penjuru kota. Akhirnya ia telah menetapkan pilihannya pada sebuah sekolah yang terfavorit di daerahnya.

            Betapa bangga kedua orang tua Marga dengan keberhasilan anaknya itu. Mereka telah berhasil mendidik dan menanamkan karakter yang istimewa kepada buah hatinya itu. Kini mereka selalu berharap bahwa anaknya akan tetap menjadi dirinya sendiri dan tak terpengaruh dengan kehidupan luar yang begitu bebas dan sebagian dapat merusak moral generasi muda.

            Karena jaraknya yang jauh dari rumahnya, ia memutuskan untuk tinggal di masjid dekat sekolahnya. Disana ia dipercaya sebagai pengurus masjid sekaligus menjadi muadzin. Selain cerdas dalam pendidikan, Marga memang anak yang sangat religius. Hampir tak terlewatkan sholat malamnya. Dengan begini ia akan menjadi hidup mandiri dalam mengarungi kehidupannya. Awalnya memang susah, tapi lama-kelamaan ia terbiasa dengan hal ini. Biasanya ia pulang ke pangkuan orang tuanya jika sekolah tengah cuti atau libur namun sesekali ayahnya datang menjenguknya.

            Ya, meskipun Marga terlahir sebagai orang yang kurang beruntung dari segi finansial, namun ia tidak pernah merasa minder dengan keadaannya. Ejekan dan cemoohan tak pernah terhindarkan daripadanya. Semua terlayangkan dari mulut orang-orang sombong yang ada disekitarnya. Namun ia tak pernah merasa kecil hati ataupun putus asa karena menurutnya hidup adalah sesuatu yang harus dijalani, bukan untuk dihindari. Lahir sebagai orang miskin itu tidak salah, tapi kalau mati sebagai orang miskin itu baru salah begitulah mungkin dalam angannya.

            Marga begitu berprestasi di sekolahnya. Ia tak kalah dengan anak-anak para pejabat ataupun petinggi di daerahnya. Ia masuk sekolah ini juga tak luput dari kerja keras dan prestasinya semasa di SMP dulu, hingga akhirnya ia mendapat beasiswa di sekolah favorit ini. Sudah banyak jasa-jasa yang dia berikan untuk sekolah ini. Sampai-sampai tak ada satu pun siswa yang tak mengenal sosok Marga.

            Hari demi hari berlalu, akhirnya Marga telah berhasil membanggakan orang tuanya dengan meraih nilai tertinggi di sekolahnya. Orang tuanya pun merasa sangat bangga dengan hal itu. Bagaimana tidak? Marga hanyalah seorang anak petani, namun dia bisa berprestasi dan mengalahkan orang-orang yang lebih beruntung dibandingkan dia dari segi finansial. Begitulah, prestasi tidak bisa dibeli dengan harta semata. Untuk meraih prestasi butuh kerja keras dan kemauan yang tinggi, dan itu telah dibuktikan olehnya.

            Dengan rasa bangga yang luar biasa, mengucur deras air mata dari pelupuk mata sang ibunda dan ayahanda tercinta. Dan disertai dengan munculnya sebuah tekad dari kedua orang tuanya untuk melanjutkan perjuangan anaknya ke Perguruan Tinggi. Meski awalnya Marga menolaknya, karena dia merasa iba terhadap orang tuanya yang harus bersusah payah untuk membiayainya. Apalagi untuk masuk Perguruan Tinggi butuh biaya yang tidak sedikit. Namun, apa mau dikata tekad orang tuanya sudah bulat dan dia harus menurutinya, karena dia merupakan harapan satu-satunya yang nantinya akan menjadi tulang punggung di dalam keluarga ini. Apalagi impian Marga ingin memberangkatkan keluarganya ke tanah suci kelak saat dia sudah sukses.

            Meskipun dengan penghasilan seperti itu, tapi mereka berharap bahwa jangan sampai anak mereka mengikuti jejak mereka yang hidup pas-pasan. Mereka ingin anaknya bisa menjadi orang yang berguna bagi orang lain dan mengangkat derajat orang tuanya dengan perekonomian yang jauh lebih baik dari yang mereka alami saat ini.

            Akhirnya titik terang pun menghampiri keluarga ini. Prestasi Marga terdengar sampai ke telinga oleh seorang pengusaha. Dengan rasa dermawan, pengusaha itu pun berkeinginan untuk menyekolahkan Marga ke Perguruan Tinggi ternama. Di sana Marga memilih untuk mengambil jurusan kedokteran, cita-citanya semenjak kecil. Meskipun begitu, orang tua Marga tidak berpangku tangan saja kepada pengusaha tersebut dalam menyekolahkan anaknya. Maka dari itu, Ayah Marga pun merantau ke luar kota untuk mencari penghidupan yang lebih baik.

            Awalnya Pak Gatot bekerja sebagai tukang parkir di sebuah Restoran setempat. Penghasilannya pun hanya cukup untuk makan dan kebutuhan-kebutuhannya yang lain, tak ubahnya dia sebagai petani di desa. Setelah itu, ia bertemu dengan seorang pegawai PDAM, kemudian ia ditawari untuk bekerja sebagai tukang kontrol air sungai yang digunakan oleh PDAM. Penghasilannya pun cukup lumayan, dengan penghasilan ini dia bisa mengirim uang ke istrinya di desa dan bisa memberi sedikit uang untuk kebutuhan anaknya sebagai pelajar.

            Beberapa tahun kemudian, Marga telah lulus dari Perguruan Tinggi dengan mendapat gelar S1 dan sebagai lulusan terbaik. Dia juga diterima bekerja sebagai dokter di sebuah rumah sakit swasta. Lama-kelamaan ia pun menjadi seorang dokter yang terkenal dan sukses. Kemudian ia mengajak ayahnya untuk pulang ke desa untuk bertemu sang ibunda tercinta. Begitulah Marga, sifat-sifat yang ditanamkan orang tuanya telah tumbuh kuat didalam dirinya. Meskipun hidup berkecukupan, tapi apalah artinya tanpa cinta dan kasih sayang keluarga.

            Sesampainya di rumah, ia langsung mencium kaki ibundanya. Kebahagiaan tersirat dari wajah Bu Marni. Betapa tidak? Puluhan tahun ia mendidik Marga, menjadikan ia sosok yang tangguh dan berbakti kepada orang tua. Tanpa rasa malu mengakui kedua orang tuanya walau hanya berprofesi sebagai petani dan pekerja serabutan. Pekerjaan yang bagi sebagian orang merupakan pekerjaan yang hina dan rendahan.

            Marga tak serta merta melupakan desanya begitu saja. Ia bertekad untuk membangun desanya itu untuk tumbuh dan berkembang menjadi desa yang dikenal masyarakat luar serta tak hanya dipandang sebelah mata. Bersama para pemuda dan petinggi di desanya, akhirnya ia merintis sebuah gagasan yang bertujuan untuk menjadikan tanah kelahirannya ini sebagai desa wisata. Tak mudah memang, namun ia telah berpengalaman dalam menghadapi pahit asamnya garam kehidupan.

            Dengan perkembangan desanya yang semakin lama semakin pesat, hatinya kembali tergerak. Kali ini ia berencana untuk membangun sebuah rumah sakit. Maklum, di kampungnya masih sulit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak. Dan kini ia ingin semua masyarakat disekitarnya ikut menikmati jerih payahnya selama ini.

            Tak lama kemudian, Marga mempersunting seorang wanita bernama Muslimah. Wanita ini dikenalnya saat Marga mengenyam bangku perkuliahan. Kemudian, ia mewujudkan impiannya untuk pergi ke tanah suci bersama keluarga besarnya. Setelah ia pulang ke tanah air, ia pun dikaruniai seorang buah hati dan hidup bahagia bersama keluarga besarnya serta tumbuh rasa kedermawanan tanpa menghilangkan sifat kesederhanaannya seperti semasa sulit dulu.

            Yang bisa melahirkan dan membunuh keyakinan itu, ya cuma diri kita sendiri. Tak seorang pun berhak ikut campur atau pun menghalangi semua itu untuk datang menghampiri kita. Kalau mau sukses, jadilah di sendiri.

No comments:

Post a Comment