Pak Gatot hanyalah seorang
petani yang penghasilannya pas-pasan. Sedangkan Bu Marni hanya sebagai
ibu rumah tangga saja. Dengan penghasilan yang begitu minim dan dengan
kebutuhan yang semakin banyak, tentunya Pak Gatot sebagai kepala
keluarga harus bisa memutar otak untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan
tersebut, mengingat anaknya sebentar lagi sudah harus mengenyam bangku
sekolah.
Seperti anak-anak desa yang
lain, Marga begitu senang bermain di alam bersama dengan teman-temannya.
Masa kecilnya dihabiskan dengan keceriaan tak terhingga meskipun
keadaan ekonomi keluarga yang pas-pasan. Ia begitu bersahaja,
sehari-hari ia pergi ke sungai, kebun, ke bukit, dan tempat-tempat
lainnya untuk bermain bersama teman-temannya.
Pada usia enam tahun, Marga
mulai mengenyam bangku pendidikan yaitu Sekolah Dasar yang ada di
desanya. Jaraknya lumayan jauh dari kediamannya. Ia harus menyeberangi
sungai untuk sampai ke tempatnya menuntut ilmu. Awalnya ia selalu
diantar oleh ayahnya, namun setelah ia agak besar, ia berani pergi
sendiri bersama teman-temannya. Hanya sesekali jika sungai itu sedang
menguap, ia meminta ayahnya untuk mengantarkannya ke seberang sungai.
Anak-anak di desa ini memang
sangat bersahabat dengan alam, seakan-akan alam telah menjadi bagian
dalam kehidupan mereka. Di usia yang masih dini, Marga dan
kawan-kawannya telah membantu orang tuanya untuk berkebun. Meskipun
sebenarnya orang tuanya melarangnya untuk pergi ke kebun, tetapi Marga
selalu memaksa. Jadi tak ada pilihan lain. Sepulang sekolah ia terlebih
dahulu mengerjakan pekerjaan rumahnya baru kemudian setelah semuanya
selesai, ia menyusul orang tuanya di kebun dekat rumahnya.
Tak terasa hari demi hari
telah berlalu, kini Marga hampir menuntaskan sekolah dasarnya. Ia hanya
tinggal menunggu hasil ujian yang telah dilewatinya. Ya, hari ini adalah
pengumuman kelulusan. Semenjak kelas satu ia selalu menduduki ranking
tertinggi dikelasnya. Ia memang terkenal cerdas dan banyak prestasinya.
Seperti yang telah di duga, ia kembali mendapatkan nilai tertinggi pada
ujian kelulusan ini. Ia meninggalkan sekolah ini dengan prestasi dan
pengalaman yang tak mungkin terlupakan olehnya.
Karena kepandaiannya ia
diterima di Sekolah Menengah Pertama tanpa tes seperti teman-teman
lainnya yang harus melewati beberapa tahapan. Ia memang pernah mengikuti
dan memenangkan lomba di sekolah ini semasa ia di sekolah dasar dulu.
Jadi sekolah ini sudah percaya dengan kualitas anak ini.
Tak jauh berbeda dari
sebelumnya, ia masih belum terkalahkan dalam segi prestasi. Walaupun
persaingannya lebih ketat daripada sewaktu ia masih di sekolah dasar.
Sebagian besar siswa disini memang masih terbilang dari
keluarga-keluarga yang biasa, hanya beberapa yang datang dari keluarga
agak kaya. Jadi ia masih terbiasa dengan keadaan disekitarnya.
Tiga tahun berlalu, hingga ia
berhasil lulus dari sekolahnya kini dengan hasil yang sangat memuaskan
hingga ia banyak sekali sekolah yang ingin mendapatkan anak satu ini
untuk menjadi siswanya. Begitu luar biasa memang, seorang yang terlahir
di desa bisa begitu terkenal hingga sampai penjuru kota. Akhirnya ia
telah menetapkan pilihannya pada sebuah sekolah yang terfavorit di
daerahnya.
Betapa bangga kedua orang tua
Marga dengan keberhasilan anaknya itu. Mereka telah berhasil mendidik
dan menanamkan karakter yang istimewa kepada buah hatinya itu. Kini
mereka selalu berharap bahwa anaknya akan tetap menjadi dirinya sendiri
dan tak terpengaruh dengan kehidupan luar yang begitu bebas dan sebagian
dapat merusak moral generasi muda.
Karena jaraknya yang jauh
dari rumahnya, ia memutuskan untuk tinggal di masjid dekat sekolahnya.
Disana ia dipercaya sebagai pengurus masjid sekaligus menjadi muadzin.
Selain cerdas dalam pendidikan, Marga memang anak yang sangat religius.
Hampir tak terlewatkan sholat malamnya. Dengan begini ia akan menjadi
hidup mandiri dalam mengarungi kehidupannya. Awalnya memang susah, tapi
lama-kelamaan ia terbiasa dengan hal ini. Biasanya ia pulang ke pangkuan
orang tuanya jika sekolah tengah cuti atau libur namun sesekali ayahnya
datang menjenguknya.
Ya, meskipun Marga terlahir
sebagai orang yang kurang beruntung dari segi finansial, namun ia tidak
pernah merasa minder dengan keadaannya. Ejekan dan cemoohan tak pernah
terhindarkan daripadanya. Semua terlayangkan dari mulut orang-orang
sombong yang ada disekitarnya. Namun ia tak pernah merasa kecil hati
ataupun putus asa karena menurutnya hidup adalah sesuatu yang harus
dijalani, bukan untuk dihindari. Lahir sebagai orang miskin itu tidak
salah, tapi kalau mati sebagai orang miskin itu baru salah begitulah
mungkin dalam angannya.
Marga begitu berprestasi di
sekolahnya. Ia tak kalah dengan anak-anak para pejabat ataupun petinggi
di daerahnya. Ia masuk sekolah ini juga tak luput dari kerja keras dan
prestasinya semasa di SMP dulu, hingga akhirnya ia mendapat beasiswa di
sekolah favorit ini. Sudah banyak jasa-jasa yang dia berikan untuk
sekolah ini. Sampai-sampai tak ada satu pun siswa yang tak mengenal
sosok Marga.
Hari demi hari berlalu,
akhirnya Marga telah berhasil membanggakan orang tuanya dengan meraih
nilai tertinggi di sekolahnya. Orang tuanya pun merasa sangat bangga
dengan hal itu. Bagaimana tidak? Marga hanyalah seorang anak petani,
namun dia bisa berprestasi dan mengalahkan orang-orang yang lebih
beruntung dibandingkan dia dari segi finansial. Begitulah, prestasi
tidak bisa dibeli dengan harta semata. Untuk meraih prestasi butuh kerja
keras dan kemauan yang tinggi, dan itu telah dibuktikan olehnya.
Dengan rasa bangga yang luar
biasa, mengucur deras air mata dari pelupuk mata sang ibunda dan
ayahanda tercinta. Dan disertai dengan munculnya sebuah tekad dari kedua
orang tuanya untuk melanjutkan perjuangan anaknya ke Perguruan Tinggi.
Meski awalnya Marga menolaknya, karena dia merasa iba terhadap orang
tuanya yang harus bersusah payah untuk membiayainya. Apalagi untuk masuk
Perguruan Tinggi butuh biaya yang tidak sedikit. Namun, apa mau dikata
tekad orang tuanya sudah bulat dan dia harus menurutinya, karena dia
merupakan harapan satu-satunya yang nantinya akan menjadi tulang
punggung di dalam keluarga ini. Apalagi impian Marga ingin
memberangkatkan keluarganya ke tanah suci kelak saat dia sudah sukses.
Meskipun dengan penghasilan
seperti itu, tapi mereka berharap bahwa jangan sampai anak mereka
mengikuti jejak mereka yang hidup pas-pasan. Mereka ingin anaknya bisa
menjadi orang yang berguna bagi orang lain dan mengangkat derajat orang
tuanya dengan perekonomian yang jauh lebih baik dari yang mereka alami
saat ini.
Akhirnya titik terang pun
menghampiri keluarga ini. Prestasi Marga terdengar sampai ke telinga
oleh seorang pengusaha. Dengan rasa dermawan, pengusaha itu pun
berkeinginan untuk menyekolahkan Marga ke Perguruan Tinggi ternama. Di
sana Marga memilih untuk mengambil jurusan kedokteran, cita-citanya
semenjak kecil. Meskipun begitu, orang tua Marga tidak berpangku tangan
saja kepada pengusaha tersebut dalam menyekolahkan anaknya. Maka dari
itu, Ayah Marga pun merantau ke luar kota untuk mencari penghidupan yang
lebih baik.
Awalnya Pak Gatot bekerja
sebagai tukang parkir di sebuah Restoran setempat. Penghasilannya pun
hanya cukup untuk makan dan kebutuhan-kebutuhannya yang lain, tak
ubahnya dia sebagai petani di desa. Setelah itu, ia bertemu dengan
seorang pegawai PDAM, kemudian ia ditawari untuk bekerja sebagai tukang
kontrol air sungai yang digunakan oleh PDAM. Penghasilannya pun cukup
lumayan, dengan penghasilan ini dia bisa mengirim uang ke istrinya di
desa dan bisa memberi sedikit uang untuk kebutuhan anaknya sebagai
pelajar.
Beberapa tahun kemudian,
Marga telah lulus dari Perguruan Tinggi dengan mendapat gelar S1 dan
sebagai lulusan terbaik. Dia juga diterima bekerja sebagai dokter di
sebuah rumah sakit swasta. Lama-kelamaan ia pun menjadi seorang dokter
yang terkenal dan sukses. Kemudian ia mengajak ayahnya untuk pulang ke
desa untuk bertemu sang ibunda tercinta. Begitulah Marga, sifat-sifat
yang ditanamkan orang tuanya telah tumbuh kuat didalam dirinya. Meskipun
hidup berkecukupan, tapi apalah artinya tanpa cinta dan kasih sayang
keluarga.
Sesampainya di rumah, ia
langsung mencium kaki ibundanya. Kebahagiaan tersirat dari wajah Bu
Marni. Betapa tidak? Puluhan tahun ia mendidik Marga, menjadikan ia
sosok yang tangguh dan berbakti kepada orang tua. Tanpa rasa malu
mengakui kedua orang tuanya walau hanya berprofesi sebagai petani dan
pekerja serabutan. Pekerjaan yang bagi sebagian orang merupakan
pekerjaan yang hina dan rendahan.
Marga tak serta merta
melupakan desanya begitu saja. Ia bertekad untuk membangun desanya itu
untuk tumbuh dan berkembang menjadi desa yang dikenal masyarakat luar
serta tak hanya dipandang sebelah mata. Bersama para pemuda dan petinggi
di desanya, akhirnya ia merintis sebuah gagasan yang bertujuan untuk
menjadikan tanah kelahirannya ini sebagai desa wisata. Tak mudah memang,
namun ia telah berpengalaman dalam menghadapi pahit asamnya garam
kehidupan.
Dengan perkembangan desanya
yang semakin lama semakin pesat, hatinya kembali tergerak. Kali ini ia
berencana untuk membangun sebuah rumah sakit. Maklum, di kampungnya
masih sulit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak. Dan kini
ia ingin semua masyarakat disekitarnya ikut menikmati jerih payahnya
selama ini.
Tak lama kemudian, Marga
mempersunting seorang wanita bernama Muslimah. Wanita ini dikenalnya
saat Marga mengenyam bangku perkuliahan. Kemudian, ia mewujudkan
impiannya untuk pergi ke tanah suci bersama keluarga besarnya. Setelah
ia pulang ke tanah air, ia pun dikaruniai seorang buah hati dan hidup
bahagia bersama keluarga besarnya serta tumbuh rasa kedermawanan tanpa
menghilangkan sifat kesederhanaannya seperti semasa sulit dulu.
Yang bisa melahirkan dan
membunuh keyakinan itu, ya cuma diri kita sendiri. Tak seorang pun
berhak ikut campur atau pun menghalangi semua itu untuk datang
menghampiri kita. Kalau mau sukses, jadilah di sendiri.
No comments:
Post a Comment