Kukkuruyuuuuuukk....
suara alarm yang yang berbunyi nyaring seperti pemilik suara aslinya. Sontak Meta
dan Mita terbangun dari tidur lelap yang membawanya berkelana semalaman. Mereka
segera bangkit dari tempat tidurnya dan bergegas mempersiapkan jiwa raganya
untuk menghadapi hari yang panjang dan penuh rintangan. Meskipun hari ini
seharusnya libur, tetapi tak ada pengaruhnya bagi kedua pelajar ini. Bagi
mereka, libur tak menjadi alasan untuk bermalas-malasan. Justru ini adalah
kesempatan untuk mengembangkan dan mewarnai hidup mereka dengan melakukan
kegiatan yang bermanfaat selain di sekolah.
Meta
dan Mita terlahir dari pasangan suami istri yang cukup mapan dari segi ekonomi.
Meskipun hidup serba kecukupan, akan tetapi mereka sama sekali tak mau
membebani dan hanya bisa meminta-minta kepada kedua orang tuanya seperti
anak-anak orang kaya lainnya. Kehidupan mereka begitu sederhana, tak sungkan
berbaur dengan para warga sekitar yang status sosialnya jauh di bawah mereka.
Anak kembar ini sejak kecil memang telah di didik untuk mandiri dan membiasakan
diri hidup sosial.
Seperti
hari-hari libur sebelumnya, Meta dan Mita selalu menyempatkan diri untuk
berolahraga. Biasanya mereka jalan-jalan menyusuri sudut-sudut kota. Hingga
akhirnya perjalanan mereka akan bermuara di sebuah taman dekat alun-alun Kota
Riang ini. Mereka akan beristirahat sambil menghirup udara segar disana.
Sejenak menjernihkan pikiran dan menghilangkan kejenuhan selama satu minggu
lalu.
Setelah
menunaikan kewajibannya menjalankan sholat subuh, mereka segera mempersiapkan
diri untuk melaksanakan rutinitas mereka. Sepatu, kaos kaki, lengkap dengan
pakaian olahraga telah melekat di tubuh mereka. Tak ketinggalan, meskipun
olahraga tetapi mereka tetap mengenakan jilbab sebagai penutup aurat. Kedua
anak ini memang terkenal sangat religius. Beberapa saat kemudian, mereka
berpamitan dengan kedua orang tuanya dan segera berangkat jalan-jalan keliling
kota.
“Pak?
Bu? Kita izin jalan-jalan dulu, ya.” Kata Meta.
“Iya,
nak. Kalian hati-hati ya. Jaga diri baik-baik.” Jawab Ayah.
“Siap,
pak. Assalamu’alaikum”. Sahut Meta dan Mita serentak sambil kemudian mereka
bersalaman dengan kedua orang tuanya.
“Wa’alaikumsalam.”
Jawab Ayah dan Ibu serentak sambil memberikan senyum kasih sayangnya kepada
kedua buah hati mereka.
Meta
dan Mita terlihat begitu ceria hari ini. Pagi yang cerah telah membawa
kesejukan luar biasa di hati mereka. Udara masih terasa segar karena belum
banyak kendaraan bermotor yang melintas. Hanya terlihat beberapa tukang sayur
yang melintas mengayuh sepeda menjajakan barang dagangannya.
“Coba
tiap hari kaya gini ya, Met. Pasti kita gak akan pernah jenuh tinggal di kota
ini.” Kata Mita.
“Iya,
ya.... enak banget kalau tiap hari kaya gini. Menghirup udara segar dan bisa
merasakan indahnya pagi hari seperti di alam pedesaan tanpa harus ke kampung.”
Sahut Meta.
Dalam
perjalanan mereka melihat beberapa anak-anak yang tengah sibuk melakukan
kegiatan. Entah apa yang mereka lakukan disana. Mereka hanya lalu lalang
kesana-kemari sambil membawa karung yang lusuh ditangannya. Hanya sesekali
diantara mereka terlihat sedang mengorek-orek tempat sampah dan mengambil
beberapa isi didalamnya yang kemudian dimasukkan ke dalam karung yang
dibawanya.
Ironis
memang. Anak sekecil itu sudah harus bangun pagi-pagi untuk mencari nafkah.
Entah kemana orang tuanya. Sengaja menyuruh mereka atau memang menelantarkan
mereka atau justru mereka sendiri yang mempunyai keinginan untuk membantu
kehidupan keluarga mereka. Padahal mereka seharusnya masih di rumah menunggu sarapan
dan mendapat kasih sayang orang tuanya.
Terkadang
Meta dan Mita juga merasa miris melihat keadaan di Kota Riang ini. Banyak
anak-anak yang seharusnya masih duduk di bangku sekolah justru harus kerja
keras membanting tulang demi sesuap nasi untuk melanjutkan sisa hidupnya.
Kebanyakan dari mereka adalah bukan penduduk asli kota ini, tetapi para
pendatang yang ingin mengadu nasib sambil berharap bahwa kehidupan mereka akan
terangkat dan tercukupi disini. Namun pada kenyataanya tak seperti yang mereka
harapkan. Bahkan sebagian besar dari mereka semakin kesulitan untuk
mempertahankan hidupnya.
Tak
terasa mereka telah sampai di pelabuhan tempat kesukaan mereka, yaitu di taman
kota. Suasana sejuk menyapa kedatangan mereka. Nampak berjuta keceriaan
tersirat di wajah cerah mereka. Meskipun kali ini mereka tak sebahagia seperti
hari-hari sebelumnya. Ekspresi wajah mereka menunjukkan bahwa mereka sedang
memikirkan sesuatu hal. Entah apa itu. Kemudian setelah mereka menemukan tempat
duduk yang cocok, mereka mulai berbincang-bincang membicarakan sesuatu yang
telah dipikirkan sejak di perjalanan tadi.
“Kasihan
ya, Met, Anak-anak tadi. Aku jadi kepikiran sama mereka.” kata Mita.
“Iya.
Aku gak bisa bayangin kalau aku ada di posisi mereka.” jawab Meta.
“Emmmmb...
Gimana ya caranya supaya mereka gak kaya gitu lagi? Supaya mereka bisa
menikmati masa kecilnya. Menunaikan kewajibannya untuk menuntut ilmu dan
bermain. Belajar dan terus belajar demi masa depan cerah mereka.” kata Mita.
“Bentar.
Bentar. Mari kita coba berfikir.” Jawab Meta.
“Aku
punya ide, Met. Gimana kalau kita membuat perpustakaan untuk mereka. Supaya
mereka bisa belajar tanpa harus mengenakan seragam sekolah.” Kata Mita
menuangkan idenya.
“Bagus
itu. Aku suka gagasanmu itu. Tapi????” tanggapan Meta sedikit bingung.
“Tapi
kenapa, Met?” tanya Mita.
“Tapi
apa mereka mau meluangkan waktunya untuk membaca? Terus, apakah mereka sudah
bisa membaca? Kan dalam benak mereka hanya ada bekerja dan terus bekerja.”
Jawab Meta.
“Pasti
mau. Kita buat perpustakaan kita semenarik mungkin supaya mereka tertarik dan
berminat untuk membaca. Tentunya kita harus mengajak dan membujuk mereka. Kan
kalau udah siang mereka suka berkumpul dan istirahat sejenak. Nah.. Pada saat itulah
kita bertindak. Kalau pun diantara mereka ada yang belum bisa baca, kita kan
bisa ajari mereka. Gimana, Met? Ok, gak??” jelas Mita.
“Ok
deh. Aku setuju. Setuju-tuju malah. Haha.. Terus dananya dari mana, Mit? ”
jawab Meta sambil tertawa.
“Pakai
uang tabungan kita aja. Terus kekurangannya kita minta sama ayah. Pasti beliau
setuju. Kan kita ga pernah minta yang aneh-aneh selama ini.” Jawab Mita.
“Emmmb....
boleh juga. Tumben kamu cerdas hari ini. Haha...” ejek Meta.
“Siapa
lagi? Mita gitu loh. Haha... Nanti kita coba tanya ke ayah deh.” Sahut Mita.
Kemudian
mereka kembali melanjutkan jalan-jalan pagi mereka. Namun kali ini tidak
menyusuri jalan kota, melainkan mengelilingi alun-alun Kota Riang mereka
tercinta ini. Sejenak mereka singgahi beberapa tempat disana. Mulai dari taman
bunga, taman bermain, hingga patung-patung disana pun turut mereka jajahi. Tak
ketinggalan, kemana pun mereka pergi pasti membawa kamera. Jadi ya pasti juga
mereka berfoto-foto ria. Sudah hobi mereka sejak kecil memang. Sudah gak heran
lagi kalau kemana-mana selalu mengabadikan momen spesial mereka. Bahkan
terkadang gak istimewa pun mereka tangkap dengan jepretan lensa kamera.
“Udah
siang nih, Met. Pulang yuk.” Ajak Mita.
“Ayuk.
Aku juga udah capek banget.” Jawab Meta.
Tidak
seperti berangkatnya tadi, kali ini mereka memutuskan untuk naik kendaraan
umum. Lebih tepatnya bus kota. Mungkin kedua kaki mereka sudah tidak mampu lagi
menapaki jalan berselimutkan aspal yang mulai memanas.
Tak
butuh waktu lama, mereka akhirnya sampai di istana sederhana mereka. Ya,
meskipun mereka dikenal sebagai orang yang mampu, namun mereka selalu hidup
sederhana. Bahkan rumah mereka pun seakan tak menunjukkan bahwa mereka adalah
keluarga konglomerat. Sesampainya di rumah, mereka segera mandi dan bersiap
untuk sarapan pagi. Sebenarnya mereka bisa membeli saat di alun-alun tadi, tapi
nyatanya mereka lebih suka masakan ibunya sendiri daripada masakan orang lain.
Hidangan
telah bersiap untuk di santap dan di nikmati. Mereka seakan mengantri menunggu
giliran untuk dimakan. Setelah semuanya berkumpul, mereka segera melahap
hidangan yang telah tersedia. Nampak kehangatan dan kebahagiaan tersirat dari
keluarga kecil ini. Sesekali mereka bercanda dan saling meluapkan apa yang ada
dalam pikirannya masing-masing. Tak ada rasa sungkan yang muncul dari dalam
diri mereka. Semua saling terbuka dalam segala hal.
“Yah..
Ayah...?” panggil Meta dengan manja.
“Iya.
Ada apa, nak?” jawab ayah pelan.
“Emmmb...
Kami boleh minta sesuatu gak ama ayah? Kan selama ini kami gak pernah minta
apa-apa ke ayah. Jadi, boleh lah... sekali ini aja...” pinta Meta.
“Iya.
Emang kalian mau apa? Notebook baru? Atau smartphone baru?” tanya ayah.
“Bukan
itu, yah. Jadi gini, sebenarnya kita mau minta bantuan ayah untuk membangun
perpustakaan di sekitar sini. Kira-kira ayah bersedia ga?” jawab Mita.
“Loh?
Emang buat apa? Apa lemari buku kalian sudah tidak muat lagi?” tanya ayah
penasaran.
“Jadi,
tadi pagi kita kan olahraga. Terus di jalan kita menemukan banyak anak-anak
yang seharusnya masih sekolah tapi sudah dituntut untuk mencari nafkah bagi
keluarganya. Nah.. Maka kami kepikiran untuk membuat perpustakaan supaya
disela-sela waktu istirahat, mereka bisa belajar di perpustakaan. Meskipun
tidak seperti di sekolah, tapi setidaknya mereka kan bisa menambah ilmu
pengetahuan untuk masa depan mereka. Gimana, yah? Setuju gak? Kan kasihan
mereka.” jelas Mita.
“Owch...
gitu... Ayah gak nyangka kalian bisa berfikir sejauh itu. Oke. Ayah akan bantu.
Kebetulan rumah teman ayah di dekat alun-alun kota Riang itu mau di jual. Jadi
gimana kalau rumah itu kita jadikan perpustakaan saja? Besok ayah akan coba
hubungi teman ayah.” Kata ayah.
“Makasih,
ayah. Ayah emang paling keren.” Puji Meta.
“Ibu
gak keren?” sahut ibu.
“Hehe..
Ibu juga keren. Kami sayang Ayah dan Ibu.” Jawab Meta dan Mita serentak.
Keesokan
harinya ayah memberi informasi bahwa rumah temannya dijual dan telah ayah beli.
Sontak Meta dan Mita sangat gembira dengan kabar tersebut. Tanpa pikir panjang
lagi mereka ingin segera menuju kesana untuk melihat dan mengubah rumah
tersebut menjadi sebuah perpustakaan. Namun sayangnya mereka baru bisa kesana
satu minggu lagi, karena mereka tidak punya waktu kecuali hari minggu atau hari
libur. Mereka memang tergabung di beberapa organisasi disekolahnya dan juga
selalu aktif mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan organisasi-organisasi
tersebut sehingga hampir tiap hari mereka pulang sore karena kesibukannya
masing-masing.
Hari
yang ditunggu telah tiba. Kemudian mereka bergegas untuk pergi ke rumah itu.
Sesampainya disana mereka segera berfikir untuk mendekor ulang rumah tersebut
hingga menjadi sebuah perpustakaan yang nyaman dan menarik. Seharian mereka
menata rumah tersebut. Hingga akhirnya sesaat sebelum matahari terbenam di ufuk
barat mereka telah berhasil menyulap sebuah rumah biasa tersebut menjadi sebuah
perpustakaan yang siap menerima kunjungan dari para pencari ilmu.
Satu
minggu kemudian mereka sangat senang sekali. Hari ini adalah hari pertama
perpustakaan mereka buka. Pagi-pagi sekali mereka telah bersiap menunggu
pengunjung pertama. Perpustakaan ini tidak hanya untuk para anak-anak jalanan,
tetapi untuk umum. Ya meskipun perpustakaan ini kecil, tapi koleksi
buku-bukunya cukup lengkap dan terbaru.
Tak
hanya diam di tempat, mereka juga mencari target utama mereka, yaitu para
anak-anak yang kurang beruntung itu. Mereka mulai menghampiri anaak-anak itu
dan kemudian mengajak mereka untuk ke perpustakaan. Meta dan Mita cukup lihai
dalam merayu mereka.
“Lagi
pada ngapain, dek?” tanya Meta sambil tersenyum.
“Lagi
istirahat, kak” jawab anak-anak itu.
“Ohh...
Emang kalian gak sekolah, dek?” tanya Mita.
“Enggak,
kak. Boro-boro sekolah. Makan aja susah, kak.” Jawab salah satu anak.
“Kalian
mau gak belajar di perpustakaan kakak? Tanya Meta lagi.
“Males,
kak. Buat apa kita belajar. Paling hidup kita juga gini-gini aja.” Jawab
mereka.
“Loh..
kog gitu. Belajar itu kan demi masa depan kita juga. Siapa tahu kalian nanti
jadi orang yang sukses. Beneran gak mau?” bujuk Mita.
“Enggak
ah. Mending kita cari duit aja.” Jawab mereka.
“Ya
udah kalau gak mau. Tapi jangan nyesel ya.” Tegas Meta.
“Tunggu,
kak. Saya mau.” Jawab salah seorang anak.
“Oh
ya.. Mari kalau gitu, ikut kakak. Untuk yang lain kalau mau, silahkan langsung
datang ke perpustakaan kakak di deket alun-alun. Kakak balik dulu ya. Makasih
atas waktunya.” Kata Mita.
Perlahan
mereka mulai meninggalkan tempat itu. Kemudian mereka berjalan menuju ke
perpustakaan bersama seorang anak yang ingin belajar tadi. Dalam perjalanan
anak itu menceritakan tentang dirinya. Namanya Tebe. Ia hampir seumuran dengan
Meta dan Mita. Ia adalah korban dari perpecahan sebuah keluarga. Kini ia
tinggal bersama ayahnya. Sedangkan ibunya pergi entah kemana. Sebenarnya dulu
ia pernah mengenyam bangku sekolah, tapi akhirnya putus di tengah jalan karena
hal tadi. Ayahnya tidak mampu menyekolahkannya lagi karena uangnya habis untuk
berobat. Ayahnya tengah menderita sakit diabetes dan sudah tidak bisa pergi
kemana-mana lagi, sehingga Tebe harus bekerja untuk menyambung kehidupan dia
dan juga ayahnya.
Tebe
tampak bersemangat sekali dalam belajar. Sesekali Meta dan Mita memberikan
motivasi kepadanya. Setiap minggu ia selalu menyempatkan diri untuk datang ke
perpustakaan ini. Bahkan kini ia tak sendiri lagi. Ada saja yang anak lain yang
ikut bersamanya. Tampaknya anak-anak yang lain juga mulai tertarik dan
mengikuti jejak Tebe.
Tak
terasa dua tahun sudah perpustakaan ini berdiri. Tidak hanya hari minggu saja,
tapi kini setiap hari buka. Meta dan Mita telah menyerahkan sepenuhnya
perpustakaan ini kepada Tebe jika mereka tengah sibuk. Tebe telah diangkat
sebagai pegawai tetap disini. Kini ia tak perlu lagi pergi kesana kemari untuk
mencari botol bekas. Tiap bulan ia mendapat gaji dari pekerjaan barunya ini.
Lumayan lah untuk menghidupi keluarganya. Bahkan kini ia dan ayahnya telah
memiliki tempat tinggal yang jauh lebih layak. Ayah Meta dan Mita yang
memberikan rumah kepada keluarga Tebe.
Semakin
lama, perpustakaan ini makin menjadi-jadi. Hampir semua orang di Kota Riang ini
pernah berkunjung ke perpustakaan sederhana ini. Telah banyak orang-orang yang
sukses gara-gara membaca buku dari sini. Tempat ini turut membantu mereka untuk
menjadi orang yang berguna. Mulai dari pelajar hingga mahasiswa pun telah
merasakan manfaatnya.
Perpustakaan
ini telah membawa pengaruh yang besar bagi Kota Riang. Dari yang sebelumnya
buta huruf jadi melek huruf. Dari yang sebelumnya males baca jadi kecanduan
membaca. Dari yang sebelumnya belum tahu menjadi tahu. Hingga akhirnya kota ini
dijuluki sebagai kota baca. Telah banyak penghargaan yang diroleh perpustakaan
ini. Mulai dari lokal hingga pihak mancanegara pun turut mengapresiasi.
Puncaknya,
beberapa bulan yang lalu Kota Riang dinobatkan sebagai kota pintar oleh
pemerintah tepatnya dari kementrian pendidikan. Hal ini tak lepas dari peran
serta perpustakaan ini. Meta dan Mita juga terlibat di dalamnya. Mereka adalah
sang pelopor. Berawal dari kepedulian hingga akhirnya menjadi sebuah
kebanggaan. Tidak hanya mereka dan keluarganya, seluruh warga Kota Riang ini
pun merasakan hal yang sama.
Tak
ada yang tak mungkin di dunia yang sebesar dan seluas ini. Semua berawal dari
mimpi. Tinggal bagaimana kita berusaha mewujudkan mimpi itu. Jika ada kemauan
pasti ada jalan. Tapi tentunya jalannya berbeda-beda. Ada yang mulus dan juga
ada yang bergelombang. Semuanya harus kita hadapi dan jalani dengan keseriusan
tanpa takut terjatuh sebelumnya. Karena jika kita takut maka sebenarnya kita
telah terjatuh sebelum kita melewatinya. Segala sesuatu juga tidak ada yang
instan dan langsung besar. Semuanya pasti berawal dari hal kecil seperti halnya
tumbuhan. Dari sebuah biji, bisa tumbuh menjadi pohon yang besar kokoh berdiri.
Seperti halnya pohon pula yang dapat di manfaatkan menjadi perabot dan bahan
bangunan setelah ia di tebang dan mati. Kita juga butuh pengorbanan dalam
memperjuangkan serta mewujudkan apa yang kita impikan.
No comments:
Post a Comment