Cari

Saturday 17 September 2016

REFORMASI KEMBAR KOTA PINTAR



            Kukkuruyuuuuuukk.... suara alarm yang yang berbunyi nyaring seperti pemilik suara aslinya. Sontak Meta dan Mita terbangun dari tidur lelap yang membawanya berkelana semalaman. Mereka segera bangkit dari tempat tidurnya dan bergegas mempersiapkan jiwa raganya untuk menghadapi hari yang panjang dan penuh rintangan. Meskipun hari ini seharusnya libur, tetapi tak ada pengaruhnya bagi kedua pelajar ini. Bagi mereka, libur tak menjadi alasan untuk bermalas-malasan. Justru ini adalah kesempatan untuk mengembangkan dan mewarnai hidup mereka dengan melakukan kegiatan yang bermanfaat selain di sekolah.
            Meta dan Mita terlahir dari pasangan suami istri yang cukup mapan dari segi ekonomi. Meskipun hidup serba kecukupan, akan tetapi mereka sama sekali tak mau membebani dan hanya bisa meminta-minta kepada kedua orang tuanya seperti anak-anak orang kaya lainnya. Kehidupan mereka begitu sederhana, tak sungkan berbaur dengan para warga sekitar yang status sosialnya jauh di bawah mereka. Anak kembar ini sejak kecil memang telah di didik untuk mandiri dan membiasakan diri hidup sosial.
            Seperti hari-hari libur sebelumnya, Meta dan Mita selalu menyempatkan diri untuk berolahraga. Biasanya mereka jalan-jalan menyusuri sudut-sudut kota. Hingga akhirnya perjalanan mereka akan bermuara di sebuah taman dekat alun-alun Kota Riang ini. Mereka akan beristirahat sambil menghirup udara segar disana. Sejenak menjernihkan pikiran dan menghilangkan kejenuhan selama satu minggu lalu.
            Setelah menunaikan kewajibannya menjalankan sholat subuh, mereka segera mempersiapkan diri untuk melaksanakan rutinitas mereka. Sepatu, kaos kaki, lengkap dengan pakaian olahraga telah melekat di tubuh mereka. Tak ketinggalan, meskipun olahraga tetapi mereka tetap mengenakan jilbab sebagai penutup aurat. Kedua anak ini memang terkenal sangat religius. Beberapa saat kemudian, mereka berpamitan dengan kedua orang tuanya dan segera berangkat jalan-jalan keliling kota.
            “Pak? Bu? Kita izin jalan-jalan dulu, ya.” Kata Meta.
            “Iya, nak. Kalian hati-hati ya. Jaga diri baik-baik.” Jawab Ayah.
            “Siap, pak. Assalamu’alaikum”. Sahut Meta dan Mita serentak sambil kemudian mereka bersalaman dengan kedua orang tuanya.
            “Wa’alaikumsalam.” Jawab Ayah dan Ibu serentak sambil memberikan senyum kasih sayangnya kepada kedua buah hati mereka.
            Meta dan Mita terlihat begitu ceria hari ini. Pagi yang cerah telah membawa kesejukan luar biasa di hati mereka. Udara masih terasa segar karena belum banyak kendaraan bermotor yang melintas. Hanya terlihat beberapa tukang sayur yang melintas mengayuh sepeda menjajakan barang dagangannya.
            “Coba tiap hari kaya gini ya, Met. Pasti kita gak akan pernah jenuh tinggal di kota ini.” Kata Mita.
            “Iya, ya.... enak banget kalau tiap hari kaya gini. Menghirup udara segar dan bisa merasakan indahnya pagi hari seperti di alam pedesaan tanpa harus ke kampung.” Sahut Meta.
            Dalam perjalanan mereka melihat beberapa anak-anak yang tengah sibuk melakukan kegiatan. Entah apa yang mereka lakukan disana. Mereka hanya lalu lalang kesana-kemari sambil membawa karung yang lusuh ditangannya. Hanya sesekali diantara mereka terlihat sedang mengorek-orek tempat sampah dan mengambil beberapa isi didalamnya yang kemudian dimasukkan ke dalam karung yang dibawanya.
            Ironis memang. Anak sekecil itu sudah harus bangun pagi-pagi untuk mencari nafkah. Entah kemana orang tuanya. Sengaja menyuruh mereka atau memang menelantarkan mereka atau justru mereka sendiri yang mempunyai keinginan untuk membantu kehidupan keluarga mereka. Padahal mereka seharusnya masih di rumah menunggu sarapan dan mendapat kasih sayang orang tuanya.
            Terkadang Meta dan Mita juga merasa miris melihat keadaan di Kota Riang ini. Banyak anak-anak yang seharusnya masih duduk di bangku sekolah justru harus kerja keras membanting tulang demi sesuap nasi untuk melanjutkan sisa hidupnya. Kebanyakan dari mereka adalah bukan penduduk asli kota ini, tetapi para pendatang yang ingin mengadu nasib sambil berharap bahwa kehidupan mereka akan terangkat dan tercukupi disini. Namun pada kenyataanya tak seperti yang mereka harapkan. Bahkan sebagian besar dari mereka semakin kesulitan untuk mempertahankan hidupnya.
            Tak terasa mereka telah sampai di pelabuhan tempat kesukaan mereka, yaitu di taman kota. Suasana sejuk menyapa kedatangan mereka. Nampak berjuta keceriaan tersirat di wajah cerah mereka. Meskipun kali ini mereka tak sebahagia seperti hari-hari sebelumnya. Ekspresi wajah mereka menunjukkan bahwa mereka sedang memikirkan sesuatu hal. Entah apa itu. Kemudian setelah mereka menemukan tempat duduk yang cocok, mereka mulai berbincang-bincang membicarakan sesuatu yang telah dipikirkan sejak di perjalanan tadi.
            “Kasihan ya, Met, Anak-anak tadi. Aku jadi kepikiran sama mereka.” kata Mita.
            “Iya. Aku gak bisa bayangin kalau aku ada di posisi mereka.” jawab Meta.
            “Emmmmb... Gimana ya caranya supaya mereka gak kaya gitu lagi? Supaya mereka bisa menikmati masa kecilnya. Menunaikan kewajibannya untuk menuntut ilmu dan bermain. Belajar dan terus belajar demi masa depan cerah mereka.” kata Mita.
            “Bentar. Bentar. Mari kita coba berfikir.” Jawab Meta.
            “Aku punya ide, Met. Gimana kalau kita membuat perpustakaan untuk mereka. Supaya mereka bisa belajar tanpa harus mengenakan seragam sekolah.” Kata Mita menuangkan idenya.
            “Bagus itu. Aku suka gagasanmu itu. Tapi????” tanggapan Meta sedikit bingung.
            “Tapi kenapa, Met?” tanya Mita.
            “Tapi apa mereka mau meluangkan waktunya untuk membaca? Terus, apakah mereka sudah bisa membaca? Kan dalam benak mereka hanya ada bekerja dan terus bekerja.” Jawab Meta.
            “Pasti mau. Kita buat perpustakaan kita semenarik mungkin supaya mereka tertarik dan berminat untuk membaca. Tentunya kita harus mengajak dan membujuk mereka. Kan kalau udah siang mereka suka berkumpul dan istirahat sejenak. Nah.. Pada saat itulah kita bertindak. Kalau pun diantara mereka ada yang belum bisa baca, kita kan bisa ajari mereka. Gimana, Met? Ok, gak??” jelas Mita.
            “Ok deh. Aku setuju. Setuju-tuju malah. Haha.. Terus dananya dari mana, Mit? ” jawab Meta sambil tertawa.
            “Pakai uang tabungan kita aja. Terus kekurangannya kita minta sama ayah. Pasti beliau setuju. Kan kita ga pernah minta yang aneh-aneh selama ini.” Jawab Mita.
            “Emmmb.... boleh juga. Tumben kamu cerdas hari ini. Haha...” ejek Meta.
            “Siapa lagi? Mita gitu loh. Haha... Nanti kita coba tanya ke ayah deh.” Sahut Mita.
            Kemudian mereka kembali melanjutkan jalan-jalan pagi mereka. Namun kali ini tidak menyusuri jalan kota, melainkan mengelilingi alun-alun Kota Riang mereka tercinta ini. Sejenak mereka singgahi beberapa tempat disana. Mulai dari taman bunga, taman bermain, hingga patung-patung disana pun turut mereka jajahi. Tak ketinggalan, kemana pun mereka pergi pasti membawa kamera. Jadi ya pasti juga mereka berfoto-foto ria. Sudah hobi mereka sejak kecil memang. Sudah gak heran lagi kalau kemana-mana selalu mengabadikan momen spesial mereka. Bahkan terkadang gak istimewa pun mereka tangkap dengan jepretan lensa kamera.
            “Udah siang nih, Met. Pulang yuk.” Ajak Mita.
            “Ayuk. Aku juga udah capek banget.” Jawab Meta.
            Tidak seperti berangkatnya tadi, kali ini mereka memutuskan untuk naik kendaraan umum. Lebih tepatnya bus kota. Mungkin kedua kaki mereka sudah tidak mampu lagi menapaki jalan berselimutkan aspal yang mulai memanas.
            Tak butuh waktu lama, mereka akhirnya sampai di istana sederhana mereka. Ya, meskipun mereka dikenal sebagai orang yang mampu, namun mereka selalu hidup sederhana. Bahkan rumah mereka pun seakan tak menunjukkan bahwa mereka adalah keluarga konglomerat. Sesampainya di rumah, mereka segera mandi dan bersiap untuk sarapan pagi. Sebenarnya mereka bisa membeli saat di alun-alun tadi, tapi nyatanya mereka lebih suka masakan ibunya sendiri daripada masakan orang lain.
            Hidangan telah bersiap untuk di santap dan di nikmati. Mereka seakan mengantri menunggu giliran untuk dimakan. Setelah semuanya berkumpul, mereka segera melahap hidangan yang telah tersedia. Nampak kehangatan dan kebahagiaan tersirat dari keluarga kecil ini. Sesekali mereka bercanda dan saling meluapkan apa yang ada dalam pikirannya masing-masing. Tak ada rasa sungkan yang muncul dari dalam diri mereka. Semua saling terbuka dalam segala hal.
            “Yah.. Ayah...?” panggil Meta dengan manja.
            “Iya. Ada apa, nak?” jawab ayah pelan.
            “Emmmb... Kami boleh minta sesuatu gak ama ayah? Kan selama ini kami gak pernah minta apa-apa ke ayah. Jadi, boleh lah... sekali ini aja...” pinta Meta.
            “Iya. Emang kalian mau apa? Notebook baru? Atau smartphone baru?” tanya ayah.
            “Bukan itu, yah. Jadi gini, sebenarnya kita mau minta bantuan ayah untuk membangun perpustakaan di sekitar sini. Kira-kira ayah bersedia ga?” jawab Mita.
            “Loh? Emang buat apa? Apa lemari buku kalian sudah tidak muat lagi?” tanya ayah penasaran.
            “Jadi, tadi pagi kita kan olahraga. Terus di jalan kita menemukan banyak anak-anak yang seharusnya masih sekolah tapi sudah dituntut untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Nah.. Maka kami kepikiran untuk membuat perpustakaan supaya disela-sela waktu istirahat, mereka bisa belajar di perpustakaan. Meskipun tidak seperti di sekolah, tapi setidaknya mereka kan bisa menambah ilmu pengetahuan untuk masa depan mereka. Gimana, yah? Setuju gak? Kan kasihan mereka.” jelas Mita.
            “Owch... gitu... Ayah gak nyangka kalian bisa berfikir sejauh itu. Oke. Ayah akan bantu. Kebetulan rumah teman ayah di dekat alun-alun kota Riang itu mau di jual. Jadi gimana kalau rumah itu kita jadikan perpustakaan saja? Besok ayah akan coba hubungi teman ayah.” Kata ayah.
            “Makasih, ayah. Ayah emang paling keren.” Puji Meta.
            “Ibu gak keren?” sahut ibu.
            “Hehe.. Ibu juga keren. Kami sayang Ayah dan Ibu.” Jawab Meta dan Mita serentak.
            Keesokan harinya ayah memberi informasi bahwa rumah temannya dijual dan telah ayah beli. Sontak Meta dan Mita sangat gembira dengan kabar tersebut. Tanpa pikir panjang lagi mereka ingin segera menuju kesana untuk melihat dan mengubah rumah tersebut menjadi sebuah perpustakaan. Namun sayangnya mereka baru bisa kesana satu minggu lagi, karena mereka tidak punya waktu kecuali hari minggu atau hari libur. Mereka memang tergabung di beberapa organisasi disekolahnya dan juga selalu aktif mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan organisasi-organisasi tersebut sehingga hampir tiap hari mereka pulang sore karena kesibukannya masing-masing.
            Hari yang ditunggu telah tiba. Kemudian mereka bergegas untuk pergi ke rumah itu. Sesampainya disana mereka segera berfikir untuk mendekor ulang rumah tersebut hingga menjadi sebuah perpustakaan yang nyaman dan menarik. Seharian mereka menata rumah tersebut. Hingga akhirnya sesaat sebelum matahari terbenam di ufuk barat mereka telah berhasil menyulap sebuah rumah biasa tersebut menjadi sebuah perpustakaan yang siap menerima kunjungan dari para pencari ilmu.
            Satu minggu kemudian mereka sangat senang sekali. Hari ini adalah hari pertama perpustakaan mereka buka. Pagi-pagi sekali mereka telah bersiap menunggu pengunjung pertama. Perpustakaan ini tidak hanya untuk para anak-anak jalanan, tetapi untuk umum. Ya meskipun perpustakaan ini kecil, tapi koleksi buku-bukunya cukup lengkap dan terbaru.
            Tak hanya diam di tempat, mereka juga mencari target utama mereka, yaitu para anak-anak yang kurang beruntung itu. Mereka mulai menghampiri anaak-anak itu dan kemudian mengajak mereka untuk ke perpustakaan. Meta dan Mita cukup lihai dalam merayu mereka.
            “Lagi pada ngapain, dek?” tanya Meta sambil tersenyum.
            “Lagi istirahat, kak” jawab anak-anak itu.
            “Ohh... Emang kalian gak sekolah, dek?” tanya Mita.
            “Enggak, kak. Boro-boro sekolah. Makan aja susah, kak.” Jawab salah satu anak.
            “Kalian mau gak belajar di perpustakaan kakak? Tanya Meta lagi.
            “Males, kak. Buat apa kita belajar. Paling hidup kita juga gini-gini aja.” Jawab mereka.
            “Loh.. kog gitu. Belajar itu kan demi masa depan kita juga. Siapa tahu kalian nanti jadi orang yang sukses. Beneran gak mau?” bujuk Mita.
            “Enggak ah. Mending kita cari duit aja.” Jawab mereka.
            “Ya udah kalau gak mau. Tapi jangan nyesel ya.” Tegas Meta.
            “Tunggu, kak. Saya mau.” Jawab salah seorang anak.
            “Oh ya.. Mari kalau gitu, ikut kakak. Untuk yang lain kalau mau, silahkan langsung datang ke perpustakaan kakak di deket alun-alun. Kakak balik dulu ya. Makasih atas waktunya.” Kata Mita.
            Perlahan mereka mulai meninggalkan tempat itu. Kemudian mereka berjalan menuju ke perpustakaan bersama seorang anak yang ingin belajar tadi. Dalam perjalanan anak itu menceritakan tentang dirinya. Namanya Tebe. Ia hampir seumuran dengan Meta dan Mita. Ia adalah korban dari perpecahan sebuah keluarga. Kini ia tinggal bersama ayahnya. Sedangkan ibunya pergi entah kemana. Sebenarnya dulu ia pernah mengenyam bangku sekolah, tapi akhirnya putus di tengah jalan karena hal tadi. Ayahnya tidak mampu menyekolahkannya lagi karena uangnya habis untuk berobat. Ayahnya tengah menderita sakit diabetes dan sudah tidak bisa pergi kemana-mana lagi, sehingga Tebe harus bekerja untuk menyambung kehidupan dia dan juga ayahnya.
            Tebe tampak bersemangat sekali dalam belajar. Sesekali Meta dan Mita memberikan motivasi kepadanya. Setiap minggu ia selalu menyempatkan diri untuk datang ke perpustakaan ini. Bahkan kini ia tak sendiri lagi. Ada saja yang anak lain yang ikut bersamanya. Tampaknya anak-anak yang lain juga mulai tertarik dan mengikuti jejak Tebe.
            Tak terasa dua tahun sudah perpustakaan ini berdiri. Tidak hanya hari minggu saja, tapi kini setiap hari buka. Meta dan Mita telah menyerahkan sepenuhnya perpustakaan ini kepada Tebe jika mereka tengah sibuk. Tebe telah diangkat sebagai pegawai tetap disini. Kini ia tak perlu lagi pergi kesana kemari untuk mencari botol bekas. Tiap bulan ia mendapat gaji dari pekerjaan barunya ini. Lumayan lah untuk menghidupi keluarganya. Bahkan kini ia dan ayahnya telah memiliki tempat tinggal yang jauh lebih layak. Ayah Meta dan Mita yang memberikan rumah kepada keluarga Tebe.
            Semakin lama, perpustakaan ini makin menjadi-jadi. Hampir semua orang di Kota Riang ini pernah berkunjung ke perpustakaan sederhana ini. Telah banyak orang-orang yang sukses gara-gara membaca buku dari sini. Tempat ini turut membantu mereka untuk menjadi orang yang berguna. Mulai dari pelajar hingga mahasiswa pun telah merasakan manfaatnya.
            Perpustakaan ini telah membawa pengaruh yang besar bagi Kota Riang. Dari yang sebelumnya buta huruf jadi melek huruf. Dari yang sebelumnya males baca jadi kecanduan membaca. Dari yang sebelumnya belum tahu menjadi tahu. Hingga akhirnya kota ini dijuluki sebagai kota baca. Telah banyak penghargaan yang diroleh perpustakaan ini. Mulai dari lokal hingga pihak mancanegara pun turut mengapresiasi.
            Puncaknya, beberapa bulan yang lalu Kota Riang dinobatkan sebagai kota pintar oleh pemerintah tepatnya dari kementrian pendidikan. Hal ini tak lepas dari peran serta perpustakaan ini. Meta dan Mita juga terlibat di dalamnya. Mereka adalah sang pelopor. Berawal dari kepedulian hingga akhirnya menjadi sebuah kebanggaan. Tidak hanya mereka dan keluarganya, seluruh warga Kota Riang ini pun merasakan hal yang sama.
            Tak ada yang tak mungkin di dunia yang sebesar dan seluas ini. Semua berawal dari mimpi. Tinggal bagaimana kita berusaha mewujudkan mimpi itu. Jika ada kemauan pasti ada jalan. Tapi tentunya jalannya berbeda-beda. Ada yang mulus dan juga ada yang bergelombang. Semuanya harus kita hadapi dan jalani dengan keseriusan tanpa takut terjatuh sebelumnya. Karena jika kita takut maka sebenarnya kita telah terjatuh sebelum kita melewatinya. Segala sesuatu juga tidak ada yang instan dan langsung besar. Semuanya pasti berawal dari hal kecil seperti halnya tumbuhan. Dari sebuah biji, bisa tumbuh menjadi pohon yang besar kokoh berdiri. Seperti halnya pohon pula yang dapat di manfaatkan menjadi perabot dan bahan bangunan setelah ia di tebang dan mati. Kita juga butuh pengorbanan dalam memperjuangkan serta mewujudkan apa yang kita impikan.

No comments:

Post a Comment