Cari

Wednesday 14 September 2016

PENGGUNAAN BAHASA ASING DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL



            Peraturan mengenai Bahasa Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 mengenai  Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan masih terus menyisakan tanda tanya besar dalam benak para praktisi hukum dan kalangan dunia usaha termasuk investor asing. Salah satu pertimbangan dikeluarkannya Undang-Undang tersebut adalah bahwa bendera, bahasa dan lambang negara serta lagu kebangsaaan merupakan sarana pemersatu, identitas dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara.
            Selama ini pro dan kontra terus menyeruak terutama terkait dengan ketentuan yang mengatur penggunaan Bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia dalam Undang-Undang ini bersinggungan dengan penyusunan kontrak. Dalam kehidupan sehari-hari penyusunan kontrak banyak ditangani praktisi hukum. Keterkaitan ini menimbulkan problematika besar terhadap perkembangan dunia kontrak di Indonesia khususnya yang berhubungan dengan internasional.  
Pasal 31 UU No. 24 Tahun 2009 berbunyi:
Ayat (1):
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga Negara, instansi pemerintahan Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia”.
Ayat (2):
Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau Bahasa Inggris”.
            Pasal tersebut juga menegaskan bahwa nota kesepahaman atau perjanjian yang telah dibuat harus ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau Bahasa Inggris.
            Seperti yang kita ketahui pasal ini tidak menyebutkan suatu sanksi yang tegas apabila kita melanggar peraturan tersebut. Hal ini sangat riskan dan memunculkan kekhawatiran di berbagai pihak. Kekhawatiran yang utama adalah adanya pembatalan kontrak yang telah disepakati sebelum adanya Undang-Undang ini yang tidak menggunakan Bahasa Indonesia.
            Sebenarnya bila kita membaca secara seksama bunyi ketentuan pasal tersebut, secara tersirat, menyebutkan bahwa terhadap perjanjian yang melibatkan pihak asing, pembentuk undang-undang memberikan kedudukan yang sama terhadap kewajiban penggunaan bahasa. Bukan hanya mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia, tetapi juga bisa ditulis dalam bahasa nasional pihak asing dan/atau Bahasa Inggris. Akan tetapi jika kita amati lebih lanjut, pihak pembuat Undang-Undang menggunakan frasa Bahasa Indonesia ”wajib digunakan” dalam perjanjian sehingga harus diinterpretasikan lebih luas dari frasa “ditulis juga” sehingga kata wajib digunakan harus diartikan bukan hanya ditulis tetapi juga ditafsirkan sehingga jelas bahwa tidak dapat dilakukan pemilihan bahasa mana yang berlaku selain Bahasa Indonesia. 
            Pada bulan Agustus 2015, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Putusan (Putusan MA), yang menolak permohonan kasasi yang dimohonkan oleh Nine AM. Ltd (Pemohon) dengan termohon PT. Bangun Karya Pratama Lestari (Termohon).
            Putusan MA ini menguatkan Putusan pengadilan di bawahnya, yakni Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, yang menyatakan batal demi hukum suatu kontrak karena tidak dibuat menggunakan Bahasa Indonesia, seperti yang diwajibkan oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (UU 24/2009).
            Ini merupakan kasus pertama mengenai syarat wajib penggunaan Bahasa Indonesia pada perjanjian berdasarkan UU 24/2009 yang sampai ke meja Mahkamah Agung.

            Puncaknya, Menteri Hukum dan HAM  mengeluarkan tanggapan terhadap permohonan klarifikasi atas implikasi dan pelaksanaan ketentuan Pasal 31 UU No. 24/2009 sebagai tanggapan terhadap permohonan klarifikasi yang diajukan beberapa advokat di Jakarta.

Adapun beberapa poin pernyataan surat Menkumham tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Penandatanganan perjanjian privat komersial dalam bahasa Inggris tanpa disertai bahasa Indonesia tidak melanggar persyaratan kewajiban sebagaimana dimaksud UU No. 24/2009 sehingga perjanjian tersebut tetap sah dan tidak batal demi hukum atau tidak dapat dibatalkan.
  2. Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud Pasal 31 UU tersebut menunggu sampai dikeluarkan Peraturan Presiden.
  3. Kewajiban tersebut tidak berlaku surut sehingga perjanjian-perjanjian yang dibuat sebelum Peraturan Presiden diundangkan tidak perlu disesuaikan atau menyesuaikan penggunaan bahasa Indonesia yang ditentukan di dalam Peraturan Presiden tersebut.
  4. Terkait dengan penggunaan bahasa para pihak pada dasarnya bebas menyatakan bahasa mana yang akan digunakan dalam kontrak dan jika Peraturan Presiden nantinya menetapkan para pihak wajib menggunakan dua bahasa maka para pihak baru akan terikat terhadap kewajiban penggunaan dual bahasa tersebut akan tetapi hal tersebut tidak menghalangi para pihak untuk memilih bahasa mana yang akan digunakan jika terdapat perbedaan penafsiran terhadap kata atau kalimat dalam perjanjian tersebut.
            Berbagai macam problematika yang muncul akibat adanya Undang-Undang ini tentunya harus kita sikapi dengan semestinya agar tidak semakin menimbulkan kegaduhan nantinya. Segala bentuk peraturan yang dibuat tentunya untuk memajukan bangsa ini. Jadi sudah seharusnya dan semestinya kita mendukung peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Namun demikian, kita juga harus kritis dalam menanggapi dan bersikap atas peraturan tersebut. Kita berhak mengajukan pendapat atau bahkan menolak adanya peraturan jika memang berdampak buruk bagi bangsa dan negara ini.
            Bahasa Indonesia adalah bahasa yang mempersatukan berbagai macam jenis bahasa di negeri ini. Hal ini juga menjadi identitas bangsa Indonesia yang meskipun berbeda-beda tetapi tetap menjunjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan. Jadi sudah semestinya kita bangga dan terus melestarikan bahasa pemersatu ini yakni Bahasa Indonesia.

No comments:

Post a Comment